Jumat, 27 Juni 2008

Apakah Anda Ibu yang Berbahagia ?

Jika seorang ibu ditanya bagaimana perasaannya setelah memiliki anak, mayoritas akan menjawab bahagia. Tetapi sebuah studi tentang kebahagiaan justru memberi gambaran yang berbeda. Disebutkan bahwa ibu seorang bayi atau batita (bayi di bawah usia tiga tahun) sering merasa tertekan.

"Mengurus anak dari waktu ke waktu bisa membuat para ibu kelelahan, frustasi, dan terkadang marah," kata Peter Ubel, M.D, profesor psikologi dan medis di Universitas Michigan, AS.

Harus diakui, setelah seorang wanita berkeluarga dan punya anak, dunianya akan terpusat pada anak dan keluarga. Dalam sebuah survei terhadap para ibu tentang prioritas kegiatan mereka, mayoritas menjawab mengurus anak, baru kemudian disusul dengan mengurus rumah, bekerja, atau bergaul.

Rasa tertekan yang dialami para ibu muda merupakan akumulasi dari berbagai faktor, misalnya tidak ada pengasuh, anak yang selalu rewel dan menuntut perhatian, masalah keuangan, menjalani peran ganda sebagai ibu dan wanita karir, serta tidak punya teman untuk berbagi suka dan duka. Bila stres ini dibiarkan menumpuk, bukan tidak mungkin akan mengganggu kesehatan mental. Si ibu bisa jadi pemarah dan kurang sabar menghadapi perilaku anak, bahkan memakai cara kekerasan untuk mengendalikan anak.

Kebutuhan Ibu

Walaupun sering dilanda lelah dan perasaan tertekan, nyatanya banyak hal-hal kecil yang dilakukan oleh buah hati yang bisa membangkitkan semangat para ibu. Misalnya melihat si kecil tidur nyenyak atau makan dengan lahap. "Hal kecil tersebut seringkali menghapuskan rasa stres seharian," kata Karen Reivich, Ph.D, peneliti dari Positive Psychology Center, Universitas Pennsylvania.

Untuk mengurangi rasa stres dan jenuh dalam mengasuh anak, para ahli merekomendasikan pada para ibu untuk tetap menjalin pertemanan dengan orang lain, misalnya dengan teman yang juga telah berkeluarga. Lewat pergaulan tersebut Anda bisa bertukar cerita mengenai perkembangan anak-anak, juga masalah seputar rumah tangga lainnya. Sehingga Anda tidak merasa sendirian.

Hal lain yang tak kalah penting adalah agar Anda tetap memiliki waktu untuk diri sendiri. Membaca buku, berolahraga, merawat kecantikan, bahkan tidur yang cukup pun, bisa membuat semangat menyala kembali. Anak yang diasuh oleh ibu yang berbahagia niscaya akan tumbuh menjadi pribadi yang berbahagia pula.

Kamis, 26 Juni 2008

Memandang Takdir

Kita boleh berencana dan berharap tentang apa yang akan kita miliki, kita rasakan dan kita raih dalam hidup ini. Harapan dan rencana yang indah, menyenangkan bahkan muluk. Tak apa, itu memang hak kita.
Satu hal yang harus diingat dalam merenda harapan adalah bahwa harapan itu bisa saja terwujud dan adakalanya pula pupus tak berbekas. Ingat pula, bahwa sesungguhnya Dia lah yang menjatuhkan takdir.
Perkara takdir memang hak mutlak Sang pencipta. Tugas kita Cuma bagaimana menyikapi takdir dengan sebenar-benar sikap, selurus-lurus perilaku. Apapun yang menimpa kita : baik atau buruk, sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan.
Benarkah ada takdir buruk dan takdir baik? Sebenarnya ini Cuma masalah sudut pandang. Apa yang di mata kita buruk, misalnya harapan yang tak tercapai, sebenarnya adalah sesuatu yang baik jika disikapi dengan benar. Dan sebaliknya, sesuatu yang dalam pandangan kita baik, bisa jadi sebenarnya mengandung hal-hal yang membahayakan buat diri.
Ada kisah seorang ibu yang merasa kecewa saat anaknya yang selama ini bertabur prestasi, ternyata tidak lulus UMPTN. Kuliah swasta? Ia bukan dari kalangan berduit. Harapan memiliki seorang anak bertitel dokter kandas sudah. Sang anak pun sebenarnya mengalami kekecewan serupa, namun tetap mencoba bersabar.
Ditengah situasi sulit, ada tawaran menjadi pengajar Taman kanak-kanak (sesuatu yang sebelumnya tak pernah diharapkan). Karier sebagai guru TK dijalaninya dengan ulet hingga ia benar-benar menjiwai pekerjaan tersebut. Di sela waktu mengajar, ia mengambil pendidikan keguruan. Dasar anaknya cerdas dan tekun, makin lama ia makin eksis di dunianya. Kini, ia menjadi salah satu pengajar favorit yang berpengalaman di sebuah TK ternama. Ia masih ingat dengan cita-cita dan harapan “menjadi dokter” tapi ia lebih berbahagia dengan keadaanya sekarang.
Mengapa ia bisa “nyeni” menyikapi takdir? Kuncinya terletak pada kemampuan menyikapi takdir. Pertama, dengan kesabaran yaitu keluasan hati untuk “ridho’ menerima realita takdir Allah apa adanya, tanpa prasangka, tanpa keluh kesah (wong memang Ia yang punya kuasa, kok) kedua, dengan kemampuan memetik hikmah di balik takdiri. Inilah yang diatas disebut sebagai ‘masalah sudut pandang’ Pandanglah takdir dengan meminjam kacamataNya, niscaya kita akan mendapati hikmah bertaburan di baliknya. Bukankah Allah tak pernah menzalimi hambaNya, membebaninya dengan sesuatu yang tak sanggup dipikulnya?
‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”, kata Allah dalam AlBaqoroh : 216.
Sayangnya, banyak manusia yang tidak memiliki kemampuan ini. Sedikit manusia yang bisa bersabar, bisa ridho, dengan apa pun takdir yang menimpanya, sedikit pula manusia yang mampu membaca takdir dengan kacamataNya. Maka kita pun sering mendengar cerita tentang orang-orang yang frustasi, depresi bahkan sakit jiwa manakala menghadapi takdir yang dianggapnya buruk, semisalnya harapan dan cita-cita yang kandas.
Ya Allah, hanya padaMu kami menggntungkan harapan, berharap-harap agar harapan itu terkabulkan. Namun Ya Allah, berilah kami kekuatan jiwa manakalah Engkau ingin menguji kami dengan harapan yang belum kau kabulkan…..

Rabu, 25 Juni 2008

Senin, 16 Juni 2008

DOa

Ketika kumohon pada Allah kekuatan
 Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat
Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan
 Allah memberiku masalah untuk kupecahkan
Ketika kumohon pada Allah kesejahteraan
 Allah memberiku akal untuk berpikir
Ketika kumohon pada Allah keberanian
 Allah memberiku kondisi bahaya untuk ku atasi
Ketika kumohon pada Allah sebuah cinta
 Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk ku tolong
Ketika kumohon pada Allah bantuan
 Allah memberiku kesempatan
Aku tak pernah menerima apa yang kupinta
Tapi aku……. menerima segala yang kubutuhkan
Do’a ku terjawab sudah


Senin, 09 Juni 2008

Ma, Tuhan itu siapa ?

Q1: Anak-anak di usia tertentu tidak merasa nyaman dengan abstraksi yang tak mudah dipahami.

Q2: Rasa takjub yang muncul sebagai bentuk respon terhadap kemegahan alam adalah salah satu bentuk pengalaman spiritual yang dapat dialami anak-anak

Kepolosan anak-anak terkadang sanggup membuat kita terheran-heran atau bahkan kehilangan kata-kata. Dari mulut mungil mereka kerap muncul pertanyaan yang tak terduga. Apa jawaban Anda ketika mereka bertanya tentang Tuhan?

Anak dapat diibaratkan seperti filsuf kecil yang penuh rasa ingin tahu dan haus jawaban. Pertanyaannya terkadang sulit dijawab dengan cepat dan ringkas. Sebelum Anda mencoba menjawab pertanyaan anak, pikirkan dulu jawaban Anda karena kemampuan abstraksi anak masih rendah.

Anak-anak di usia tertentu tidak merasa nyaman dengan abstraksi yang tak mudah dipahami. Begitu kata Harold S. Kushner dalam bukunya yang berjudul When Children Ask About God. Ia menyebutkan bahwa pikiran anak-anak haus akan sesuatu yang nyata, konkret, jelas. Mereka akan menerjemahkan abstraksi tersebut ke dalam sesuatu yang lebih mudah dicerna.

Saat Anda menjelaskan sesuatu yang abstrak seperti Tuhan, anak perlu diberi perumpamaan dari pengalaman empiris, yakni berdasarkan hal-hal konkrit yang dialaminya sehari-hari. Sebagai contoh, ketika si kecil bertanya, “Ma, Tuhan itu siapa?” Anda bisa menjawab bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Kemudian beri penjelasan lebih lanjut melalui perumpamaan yang sederhana, misalnya, “Mencipta itu berarti membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Contohnya seperti saat Mama mencampur tepung, gula, dan telur menjadi kue.”

Dalam teorinya mengenai psikologi perkembangan kognitif, Jean Piaget, filsuf sekaligus psikolog perkembangan kelahiran Swiss, menyebutkan bahwa anak usia 2 – 7 tahun sedang berada dalam tahap pra-operasional (pre-operational stage). Pada tahap ini, anak sudah bisa membayangkan wujud benda sekalipun benda tersebut tidak ada di hadapannya. Anak sudah mulai mengerti, bahwa benda yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Contohnya, ketika bonekanya disembunyikan, si kecil tahu bahwa boneka itu ada, tapi tidak bisa dilihatnya.

“Persoalannya, hal itu hanya berlaku pada benda-benda yang pernah dia lihat,” kata Bagus Takwin, SPsi, MHum, Psi, dosen Psikologi di Universitas Indonesia. “Saat menjelaskan tentang konsep Tuhan yang abstrak, berarti konsep itu harus diciptakan di kepala tanpa melihat bendanya. Dan jawaban berupa contoh biasanya cukup ampuh.”

Saat menjelaskan tentang keberadaan Tuhan yang tak kasat mata, Anda bisa memberi contoh dengan menggunakan perwakilan dari hal nyata yang diketahui anak. Katakan, “Tuhan itu tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Sama seperti angin. Adek bisa merasakan angin tapi tidak bisa melihatnya, kan?”

Tak perlu berbohong
Berhati-hatilah saat menjelaskan sebuah konsep abstrak seperti Tuhan. Anak balita memang belum bisa memahami gagasan filosofis, tapi bukan berarti Anda boleh memberi jawaban sekenanya hanya karena sudah kehabisan kata-kata. Anak bisa mengalami kebingungan karena konsep yang selama ini dipegangnya ternyata berbeda dengan kenyataan.

Boleh jadi Anda takut jika anak tidak mengerti penjelasan yang diberikan. Tetapi, sebenarnya Anda tidak perlu khawatir. Karena daya pikir anak akan terus mengalami perkembangan. “Jadi tenang saja. Begitu perkembangan kognitif anak bertambah, kita beri pemahaman lebih dalam lagi. Jangan takut anak akan begitu terus,” kata Bagus Takwin.

“Tampaknya, dia tidak puas dengan jawaban saya.”
Jika anak tak kunjung merasa puas dengan jawaban yang diberikan, sementara Anda sendiri bingung untuk menjelaskan lebih lanjut, Kushner menyarankan agar Anda jujur memberitahukan soal ketidaktahuan tersebut. Katakan, “Pertanyaanmu sulit. Sudah banyak orang yang berusaha menjawabnya, tapi mereka pun tidak yakin dengan jawaban itu. Mama akan coba menjawab sebisa mungkin, tapi mungkin kamu baru bisa mengerti saat kamu dewasa nanti.” Menurut Kushner, hal ini malah akan mendidik anak mengenai pentingnya mencari jawaban sendiri sehingga mereka bisa belajar lebih banyak mengenai dunia.

Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan mencari orang yang Anda anggap cukup kompeten untuk menjawab pertanyaan si filsuf kecil. Atau, Anda juga bisa memasukkan sekolah yang bernapaskan agama. Meski begitu, Anda tetap perlu mencermati kualitas dari sekolah tersebut.

Perkenalan yang Sederhana
Ada cara-cara sederhana untuk memperkenalkan Tuhan kepada filsuf kecil kita. Berikut ini di antaranya:
Kenalkan lewat alam. Ketika menerangkan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, ada baiknya anak turut diperlihatkan pada keindahan alam itu sendiri. Tunjukkan kepadanya tentang matahari yang selalu terbit di timur dan tenggelam di barat. Bawa dia menikmati riak air laut serta sepoi-sepoi angin di tepi pantai. Perlihatkan kepadanya bahwa hanya melalui biji yang berukuran kecil, pohon besar dan kokoh dapat tumbuh. “Rasa takjub yang muncul sebagai bentuk respons terhadap kemegahan alam adalah salah satu bentuk pengalaman spiritual yang dapat dialami anak-anak,” kata Kushner.
Kenalkan lewat cinta. Jika ingin mengajarkan sifat Tuhan untuk membentuk pemahaman anak terhadap kebaikan, salah satu cara yang tepat adalah memperkenalkan lewat cinta yang Anda berikan. “Anak yang dilimpahi dengan cinta dan kepercayaan oleh orangtuanya akan percaya bahwa Tuhan adalah zat yang ada di balik dunia yang ramah dan bersahabat. Nantinya, anak akan memandang dunia secara positif.” tutur Kushner

dikutip dari www.dancow.co.id

Hati Ibunda

Hati ibunda adalah hati penuh cinta dan pengorbanan. Ia rela menggadaikan waktu tidur dan istirahatnya demi si buah hati. Tak apalah ia menggung lapar dahaga, asalkan si kecil kenyang dan tidur nyenyak. Ia sanggup menahan derita, tapi tak rela si buah hati menderita. Itulah hati ibunda.
Citna seorang ibu adalah kuasa ilahi. Nurani seorang ibu adalah sunatullah. Duka anak adalah duka ibunda. Gembira si buah hati adalah penyala pelita hati ibunda. Lalu, ketika Allah justru menguji seorang perempuan lewat sisi hati ibunda, apa yang terjadi? Terkaparkah ia pada tangga ujian? Ataukah ia melauinya dengan mulus?
Di suatu masa, seorang perempuan bani israil yang baru saja melahirkan menerawang di sudut kamarnya yang gelap. Tanganya mendekap erat seorang bayi laki-laki sehat nan gagah. “ bagaimana mungkin kubiarkan firaun durjana akan memenggal lehernya’pilu hati Yukabad. Air bening menganak sungai melewati keuda pipinya, jatuh menetesi kening sang bayi. Mata dan bibir bayi itu tersenyum. Yukabad makin terisak. Air mata Yukabad kembali berderai kala aliran suangai Nil membaw peti berisi bayi merah yang amat dicintainya. Sesak dan sakit yang perih menyayat menorehkan luka dihatinya. Itulah hati ibunda. Penuh cinta yang tak terukur.
Dalam episode lain, seorang perempuan menghadapi parit api menyala-nyala, menyambar-nyambar. Demi agidahnya, ia rela mengobankan jiwa raga. Matanya bertumpu pada bayi dalam buaian. Nyaris ia berpaling. Tapi bayi dalam dekapan itu memberinya kekuatan untuk pantang mundur. Hujan air mata mengiri langkahnya memasuki parit api. Itulah hati ibunda.
Seringkali Allah menguji kita, kaum perempuan, lewat rasa dan naluri keibuan kita. Seperti saat ini, berapa banyak perempuan yang tengah diuji Allah. Jutaan anak terlantar sekolahnya, jutaan anak tak tercukupi gizinya. Inilah ujian keimanan. Sebagai ujian, alalh memang menuntut yang teraik dari yang kita miliki. Hari ini kita dituntu’mengorbankan’ anak-anak kita. Bila kita dapat bertahan seperti Yukabad, khodijah atau hajar, yakinlah, Allah pasti membayar tunai pengorbanan itu. Bila kita gagal dan berpaling, tunggulah sampai Allah menyelesaikan urusanNya.

Dua Kisah

Teman, aku punya dua buah kisah yang mungkin menarik untukmu. Ini kisah yang pertama.
Ada seorang tua yang bikak. Suatu pagi ia kedatangan anak muda. Langkahnya gontai. Air mukanya ruwet. Ia seperti sedang dirundung masalah.
Anak muda itu menumpahkan semua masalanya. Pak tua yang bijak mendengarkan dengan seksama. Setelah tamunya tuntas bercerita, tiba-tiba orang tua itu mengambil segengam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkanya garam itu ke dalam gelas. Diaduknya perlahan.
“minum dan katakan bagaimana rasanya!” kata pak tua itu singkat.
“Puih…!” Sang tamu meludah ke samping. “Asin sekali. Tenggorokan ku seperti tercekik,” kata si pemuda lagi.
Pak tua itu tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ke tepi telaga di dalam hutan dekat tak jauh dari tempat tinggalnya. Pak tua itu menaburkan segengam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu diaduknya telaga.
“ambil air dari telaga ini dan minumlah!”. Setelah si pemuda selesai meneguk air itu pak tua bertanya, “bagaimana rasanya?”.
“segar, “ jawab pemuda itu.
“apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”
“Tidak.”
Pak tua itu tersenyum bijak. Ia tepuk punggung si pemuda. Lembut. Dibimbingya anak muda itu duduk bersimpuh di sisi telaga.
“anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layak segenggam garam. Tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnya sama, dan memang akan tetap sama,” tutur pak tua.
“tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan terasakan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak tua itu menatap si pemuda lembut. “hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas. Buatlah laksanan telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Setelah itu keduanya beranjak pulang. Hari ini mereka sama-sama belajar. Pak tua bijak itu kembali menyimpan “segengam garam” untuk anak muda yang lain yang mungkin datang membawa keresahan jiwa.
Teman, itu kisah pertama. Ini yang kedua, kisah tentang dua buah bibit.
Ada dua buah bibit tanaman terhampar di sebuah lading yang subur. Bibit yang pertama berkata, “aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menghujamkan akarku dalam-dalam di tanah ini dan menjulangkan tunas-tunasku ke angkasa. Aku ingin tunasku menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku.”
Dan, bibit itu tumbuh.
Bibit yang kedua bergumam, “aku takut jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukannkah di sana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku ke atas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka dan siput-siput mencoba memakannya? Dan pasti jika aku tumbuh dan mereka, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak! Akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman.”
Dan bibit itu pun menunggu dalam kesendirian. Beberapa pekan kemudian seekor ayam mengais tanah dan menemukan bibit kedua tadi. Ayam itu mencaploknya segera.

Kamis, 05 Juni 2008

TipS agar anak curhat

1. Jangan memaksa
Semakin kuat Anda memaksa mereka untuk berbicara atau bercerita, mereka akan semakin menutup diri. Bila Anda bersikap lebih santai, mereka mungkin akan lebih mudah mengungkapkan persoalan mereka.

2. Selalu ada buat mereka
Anak-anak cukup peka terhadap aktivitas Anda. Bila Anda tampak sibuk, mereka berusaha tahu diri. Tapi bila mereka melihat Anda punya waktu untuk Anda sendiri dan untuk mereka, mereka akan merasa nyaman berbicara dengan Anda.

3. Libatkan diri
Coba mulai melibatkan diri dengan cara beraktivitas bersama mereka. Misalnya, ikut bermain basket, main monopoli, bersepeda. Dengan bermain bersama, kemungkinan saling bercerita makin terbuka.

4. Tidak bersikap menghakimi
Bila Anda bersikap menghakimi pada saat mereka berbicara, di lain waktu mereka pasti tidak berminat untuk menceritakan apa yang mereka alami pada Anda. Tunjukkan keingintahuan dan rasa penasaran Anda pada apa yang mereka ceritakan dan usahakan tidak memberi komentar "benar" atau "salah".

5. Kiat bertanya
Pertanyaan yang dimulai dengan kata "Mengapa", cenderung menciptakan pertahanan diri. Pertanyaan dengan jawaban "ya" atau "tidak", tidak akan memberikan respons yang banyak. Belajarlah menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang menstimulasi pembicaraan semisal, "Apa yang kamu perhatikan dari lukisan itu?" merupakan pancingan yang lebih baik daripada, "Kamu senang atau tidak dengan lukisan itu?"

6. Mobil sebagai tempat untuk ngobrol
Saat mengantar atau menjemput mereka ke sekolah atau ketika bersama-sama ke suatu tempat, ajak mereka berbicara. Di dalam mobil, kecil kemungkinan bagi Anda dan anak untuk mendapat gangguan seperti tamu yang tiba-tiba datang atau ia cuma asyik di depan komputer atau teve.

7. Beri respon
Mengetahui Anda mendengarkan dan memerhatikan apa yang mereka ceritakan, akan membuat mereka merasa mendapat dukungan dari Anda dan membuat mereka bersemangat untuk bercerita lebih banyak lagi.

8. Libatkan dengan hobi anak
Ajak anak berbicara pada saat mereka sedang menggambar, mewarnai, atau melukis. Cara ini cukup ampuh untuk anak-anak Anda yang masih kecil. Lewat aktivitas yang dapat membuat mereka mengekspresikan diri, juga akan memberi kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan pada Anda. Dengan menggabungkan diri pada kegiatan tadi, Anda menjadi lebih peka untuk berbagi cerita dengan anak.

9. Sediakan kesempatan untuk bersenang-senang
Bila anak merasa Anda menyediakan waktu beraktivitas bersama mereka, apapun kegiatannya, percayalah, mereka akan dengan senang hati berbagi cerita dengan Anda. Tapi jangan lupa, jadilah pendengar yang baik.

10. Jadilah orang tua dan teman bagi mereka
Bila Anda dapat bersikap sebagai orangtua dan teman pada saat mereka bercerita, hal ini dapat memelihara keinginan anak untuk selalu berbagi cerita dengan Anda. Jangan bersikap kaku dan sok jaga wibawa.